Hamilton (1941), pantun merupakan wahana paling populer untuk ekspresi perasaan puitis di kalangan orang Melayu. Setiap pantun adalah entitas yang berdiri sendiri (tanpa diketahui pengarangnya) karena diproduksi secara spontan di bawah tekanan emosi yang lewat begitu saja dari beberapa individu yang kemudian terlupakan.
Pada masyarakat lama, beberapa pantun dilantunkan sebagai lagu pengantar tidur yang indah oleh ibu untuk anak-anak mereka. Sebagian lagi digunakan untuk bermain-main di rumah oleh gadis-gadis. Pada tahap remaja, para pemuda dan gadis memanfaatkan pantun untuk kegiatan berbalas pantun dalam rangka menyapa, berkenalan, ataupun berkasih-kasihan dengan menyuarakan hasrat yang lembut tetapi lantang dalam potongan-potongan lagu yang tidak akan berlalu tanpa didengar dan dapat membangkitkan balasan/jawaban. Selain itu, pantun dinyanyikan dengan iringan musik oleh pemain selama pertunjukan teater serta oleh penari-gadis profesional ketika disewa pada beberapa acara perayaan untuk hiburan publik (Hamilton, 1941).
Sejalan dengan pernyataan Hamilton (1941) di atas, Liaw (2016) menggolongkan pantun ke dalam puisi rakyat. Ketika awal kehadirannya, pantun disenandungkan. Orang yang menyenandungkan pantun disebut juru pantun.
Sama halnya dengan syair dan macapat, pantun tergolong jenis sastra lisan yang lisan (murni). Dalam penelitian sastra lisan, pantun termasuk bahan yang bercorak bukan cerita (Hutomo, 1991).
Pantun adalah bentuk puisi yang paling menonjol dalam kumpulan sastra lisan Melayu. Dengan memahami pantun berarti salah satu cara untuk memahami kehidupan orang Melayu (Wilkinson & Winstedt, 1957).
Alisjahbana (1952) mengemukakan bahwa pantun tidak diketahui secara pasti asal mulanya. Pantun timbul dalam masyarakat dengan disebarkan melalui mulut ke mulut (secara lisan).
Orang Melayu di seluruh nusantara menjadikan pantun sebagai kebiasaan dalam pemakaian bahasa sehari-hari. Sehingga pantun sangat melekat dengan budaya Melayu karena mereka sering berpantun. Jadi, pantun tidak selalu hanya dihadirkan dalam kegiatan pertunjukan di masyarakat ataupun pergelaran sastra. Biasanya orang Melayu yang ada di Indonesia, Singapura, Malaysia, Singapura, Thailand, dan Brunei menggunakan pantun sebagai ungkapan perasaan yang tulus dan berbudi untuk berinteraksi dalam kehidupan sehari-hari (Saragih, 2007).
Saragih (2007) menyatakan selain suku Melayu, terdapat suku lain yang mengenal dan melakukan interaksi dengan pantun. Salah satu contohnya adalah suku Batak. Mereka menyebutnya uppasa. Hanya saja mereka tidak mengenal budaya berbalas pantun.
Pantun merupakan puisi asli yang berasal dari Indonesia. Hal tersebut bisa dibuktikan dengan hampir di semua daerah memiliki tradisi pantun (Waluyo, 1995).
Marhalim (2018) mengemukakan bahwa pantun merupakan salah satu bentuk tradisi lisan pada sastra Melayu Lama. Penyampaian pantun biasanya disenandungkan atau dinyanyikan. Kata pantun berasal dari akar kata tun yang terdapat dalam berbagai bahasa di Nusantara. Misalnya,
- kata tuntun berarti 'teratur' dari bahasa Pampanga,
- kata tonton berarti 'berbicara menurut aturan tertentu' dalam bahasa Tagalog,
- pantun berarti 'kuatren' (sajak yang berbaris empat dengan sajak ab-ab) dalam bahasa Melayu.
Hamilton (1941) menyatakan bahwa pantun berbentuk kuatrain. Baris pertama dan ketiga memiliki kesamaan rima, begitu juga dengan kesamaan bunyi pada baris kedua dan keempat. Di samping memerlukan keseimbangan dalam mengolah rima, pola bunyi yang terbentuk memiliki asonansi yang menyenangkan.
Dua baris pertama (larik kesatu dan kedua) berisi pernyataan puitis. Keduanya diekspresikan baik sebagai keseluruhan atau sebagai dua gambar yang tidak berhubungan atau bahkan sangat sedikit keterkaitannya. Keduanya dipilih biasanya secara acak demi rima yang akan datang atau karena beberapa relevansi dengan makna pada baris terakhir (larik ketiga dan keempat).
Hamilton (1941) menyampaikan bahwa pokok bahasan dari baris pengantar (larik kesatu dan kedua) mungkin merupakan fenomena alam, atau peristiwa sejarah atau keseharian, tetapi apapun bentuknya, itu tidak lebih dari sebuah sketsa ringan pada latar belakang untuk sekadar gambaran saja. Hal yang lebih lengkapnya terdapat pada dua baris selanjutnya (dua baris terakhir) karena makna sebenarnya dari pantun terletak pada dua baris tersebut yang di dalamnya terungkap makna yang berkeliaran pada bidang jiwa manusia secara luas.
Pantun memiliki tempat yang baik di hati masyarakat Melayu karena dianggap memiliki manfaat bagi kehidupan. Manfaat tersebut di antaranya untuk hiburan, mengirimkan pesan-pesan moral dan nilai-nilai luhur beragama, berbudaya, serta norma-norma sosial yang diyakini oleh masyarakat (Effendy, 2005).
Berdasarkan Ensiklopedi Sastra Indonesia (2009) pantun tergolong puisi lama yang tersusun atas empat larik berirama silang a-b-a-b. Dua larik pertama lazim dinamakan sampiran (tumpuan bicara) dua larik berikutnya yang mengandung inti artinya disebut dengan isi pantun (maksud bicara).
Pantun adalah salah satu bentuk puisi lama Indonesia (Melayu) yang terdiri atas empat baris yang memiliki sajak a-b-a-b. Pada baris pertama dan baris kedua sebagai sampiran, sedangkan baris ketiga dan keempat berupa isinya. Jumlah setiap larik pantun antara empat atau lima kata, atau setara dengan delapan sampai dua belas suku kata (Suprapto, 1993).
Waluyo (2003) menyatakan pantun adalah jenis puisi lama. Pantun searti dengan padi. Jumlah baris pantun terdiri atas empat baris yang setiap barisnya memiliki rima /a b a b/, baris pertama dan kedua berupa sampiran (semacam teka-teki) sedangkan baris sisanya adalah isi.
Menurut Waluyo (1995) hubungan antara sampiran dan isi hanya sebagai saran bunyi saja, tidak terpaut makna. Jadi ciri khas pantun memiliki ikatan yang kuat antara struktur kebahasaan/tipografi/fisiknya.
Sampiran lazimnya berupa dua klausa awal dalam pantun. Sedangkan isi pantun berada pada dua klausa terakhir setalah sampiran. Klausa sampiran tersebut biasanya mengutarakan medan makna sosial atau alam semesta. Isi pantun mengungkapkan pesan, pendapat, perasaan, pikiran, atau bisa juga berupa fakta (Saragih, 2007).
Berdasarkan pendapat ahli di atas, semua bersepakat bahwa pantun termasuk puisi lama. Sumiyadi & Durachman (2014) mengemukakan meskipun pantun termasuk puisi lama yang terikat syarat-syarat jumlah larik, jumlah suku kata, rima dan irama, serta muatan setiap bait, namun kegiatan berpantun dapat digunakan sebagai sarana pergaulan pada zaman sekarang. Bahasa dalam pantun tidak selalu harus arkais dan kemelayu-melayuan, tetapi bisa juga dengan bahasa yang digunakan sehari-hari dengan tetap mengikuti formula dan syarat-syarat pantun.
Referensi
Taufik, I. N. (2023). KHAZANAH PANTUN NUSANTARA:(Suatu Tinjauan Teoretis, Jenis, dan Contoh). CV Dida.
https://penerbitdida.com/index.php?m=pages&p=buku&id=B231108210842