Berdasarkan konsep para pakar pada bab sebelumnya, pantun awalnya hadir secara lisan atau bersifat verbal. Ong (2002) menyampaikan bahwa pada jenis seni/sastra yang bersifat verbal (termasuk tradisi berpantun) terjadi pergeseran dari kelisanan menuju keaksaraan. Perubahan tersebut bukanlah disebabkan oleh tulisan (dan/atau sekuelnya, cetak) saja sebagai satu-satunya penyebab utama. Hubungannya bukanlah masalah reduksionisme tetapi relasionisme.
Pergeseran dari kelisanan menuju keaksaraan berhubungan erat dengan perkembangan yang terjadi di masyarakat, baik secara psikis dan sosial. Perkembangan tersebut dapat dipengaruhi oleh produksi hasil pangan, kegiatan perdagangan, kegiatan organisasi dan strategi politik, aktivitas lembaga keagamaan, keterampilan dalam teknologi dan komunikasi, praktik pelaksanaan pendidikan, perubahan sarana transportasi yang dinamis, organisasi dan interaksi keluarga, dan bidang kehidupan manusia lainnya. Semuanya memainkan perannya masing-masing. Tetapi sebagian besar perkembangan ini perkembangannya seringkali telah dipengaruhi secara mendalam oleh pergeseran dari lisan ke melek huruf (Ong, 2002).
Teeuw (1994) menyampaikan bahwa walaupun masyarakat Indonesia yang tengah berada pada situasi keaksaraan, tradisi kelisanan tidak sepenuhnya ditinggalkan. Pengaruh dominan nilai dan tradisi teknik tradisional tetap didominasi oleh kelisanan dalam khazanah puisi di Indonesia. Hal tersebut terlihat jelas dalam pembacaan puisi di muka umum cenderung lebih populer dibandingkan antologi puisi yang berbentuk cetak. Begitu juga aktivitas berpantun, hadir dalam keragaman pemanfaatan media, walaupun awal pembuatannya beralih dengan tulisan terlebih dahulu sebelum dipaparkan secara lisan.
Hermintoyo (2019) menjelaskan bahwa media yang digunakan dalam berpantun tidak hanya dalam lisan atau tulis saja tetapi sudah dimanfaatkan penggunaannya di media sosial. Meskipun seperti itu, kegiatan berpantun masih dihadirkan dalam acara adat pernikahan, lawakan, dan acara-acara tertentu sebagai pembuka atau penutup.
Sumiyadi & Durachman (2014), pantun yang bersifat humor dimunculkan dalam acara hiburan di salah satu televisi swasta. Dalam kegiatan rekreasi, perpisahan, ulang tahun dapat dilakukan aktivitas berbalas pantun dengan diiringi gitar. Selain itu, kegiatan berbalas pantun dapat pula sebagai pelepas lelah, media untuk berkenalan, dan menyegarkan suasana.
Pernyataan-pernyataan di atas, diperkuat oleh kegiatan yang dilakukan Irwan Prayitno, Gubernur Sumatra Barat yang menjadikan kegiatan berpantun dalam aktivitasnya sebagai gubernur, baik situasi formal ataupun nonformal (pembukaan acara, kegiatan rapat, bahkan dalam pernikahan yang dihadirinya untuk memberi nasihat. Setiap hari beliau menulis lebih dari tiga puluh pantun melalui handphone merek Nokia 9500. Total sudah 8.305 pantun yang beliau buat. Pantun-pantun tersebut sudah dibukukan dengan judul “Pantun Spontan ala Irwan Prayitno” dengan jumlah jilid sebanyak 4, ketebalannya masing-masing berjumlah 309 halaman (Republika, 2017).
Hal yang dilakukan oleh Irwan Prayitno sebagai salah satu bukti bahwa tradisi kelisanan dalam berpantun tidak sepenuhnya ditinggalkan. Tetapi terjadi pergeseran antara kelisanan dan keaksaraan, awalnya menulis pantun melalui handphone, kemudian berpantun dalam acara tertentu (kelisanan), lalu kembali lagi ke dalam keaksaraan dalam bentuk buku kumpulan pantun yang disusunnya.
Referensi
Taufik, I. N. (2023). KHAZANAH PANTUN NUSANTARA:(Suatu Tinjauan Teoretis, Jenis, dan Contoh). CV Dida.
https://penerbitdida.com/index.php?m=pages&p=buku&id=B231108210842
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Silakan tulis komentar Anda!
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.